Jumat, 30 November 2012

Raden Trunojoyo


Raden Trunojoyo, sering pula ditulis Trunajaya, (Madura, k.1649 - Payak, Bantul, 2 Januari 1680) adalah seorang bangsawan Madura yang pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Pasukannya yang bermarkas di Kediri pernah menyerang dan berhasil menjarah keraton Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya. Trunojoyo akhirnya berhasil dikalahkan Mataram dengan bantuan dari VOC pada penghujung tahun 1679.

Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali) dan saat ini memiliki 4 buah kabupaten yaitu : Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.

Pada tahun 1624 Sultan Agung menaklukkan pulau Madura. Raden Prasena, salah seorang bangsawan Madura, ditawan dan dibawa ke Mataram. Karena ketampanan dan kelakuannya yang baik, Sultan Agung menyukai Raden Prasena. Ia kemudian diangkat menjadi menantu dan dijadikan penguasa bawahan Mataram untuk wilayah Madura Barat, dengan gelar Panembahan Cakraningrat atau Cakraningrat I. Cakraningrat I lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di Madura. Anak Cakraningrat dari selir, bernama Raden Demang Melayakusuma, menjalankan pemerintahan sehari-hari di Madura Barat. Mereka berdua sekaligus juga menjadi panglima perang bagi Mataram.

Setelah Sultan Agung wafat, pemerintahan Mataram dipegang oleh Amangkurat I, yang memerintah dengan keras dan menjalin persekutuan dengan VOC. Hal ini menimbulkan gelombang ketidak-puasan pada kerabat istana dan para ulama, yang ditindak dengan tegas oleh Amangkurat I. Pertentangan yang sedemikian hebat antara Amangkurat I dan para ulama bahkan akhirnya berujung pada penangkapan, sehingga banyak ulama dan santri dari wilayah kekuasaan Mataram dihukum mati.

Pangeran Alit, adik Amangkurat I sendiri pada tahun 1656 melakukan pemberontakan. Cakraningrat I dan Demang Melayakusuma diutus untuk memadamkan pemberontakan berhasil dalam tugasnya, akan tetapi keduanya tewas dan dimakamkan di pemakaman Mataram di Imogiri. Penguasaan Madura kemudian dipegang oleh Raden Undagan, adik Melayakusuma yang kemudian bergelar Panembahan Cakraningrat II. Sebagaimana ayahnya, Cakraningrat II juga lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di Madura.
Ketidakpuasan terhadap Amangkurat I juga dirasakan putra mahkota yang bergelar Pangeran Adipati Anom. Namun Adipati Anom tidak berani memberontak secara terang-terangan. Diam-diam ia meminta bantuan Raden Kajoran alias Panembahan Rama, yang merupakan ulama dan termasuk kerabat istana Mataram. Raden Kajoran kemudian memperkenalkan menantunya, yaitu Trunojoyo putra Raden Demang Melayakusuma sebagai alat pemberontakan Adipati Anom. Sebagai imbalannya, Adipati Anom berjanji menyerahkan Madura Barat yang waktu itu dipimpin oleh Tumenggung Yudonegoro kepada Trunojoyo. Di kemudian hari Adipati Anom menyesali perjanjiannya dengan Trunojoyo karena Trunojoyo menolak mengakui Adipati Anom sebagai Sultan Mataram.

Trunojoyo dengan cepat berhasil membentuk laskar, yang berasal dari rakyat Madura yang tidak menyukai penjajahan Mataram. Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II, yang kemudian diasingkannya ke Lodaya, Kediri. Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai raja merdeka di Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Pemberontakan ini diperkirakan mendapat dukungan dari rakyat Madura, karena Cakraningrat II dianggap telah mengabaikan pemerintahan.

Sejarawan Belanda, H.J. De Graaf (1987), menerangkan bahwa Trunojoyo telah mendiami Pulau Madura sekitar tahun 1670-1671. Kemudian De Graaf dalam bukunya “Runtuhnya Istana Mataram” (hal. 60), menuliskan memo Speelman kepada Couper bahwa Raden Trunojoyo meletakkan “landasan pertama pemberontakkannya” di Pamekasan dan “mendapatkan dukungan sepenuhnya dari orang-orang disana”.
Laksamana Speelman merasa yakin bahwa jika Sampang dan Sumenep, yang menurut pendapatnya adalah merupakan daerah-daerah yang bersikap ”baik”, mau menyerah begitu saja, maka Pamekasan yang ”berkeras kepala” itu akan mengikuti pula.

Pada dasarnya penguasaan Trunojoyo atas Madura (Madura Barat khususnya), melalui strategi diplomasi yang jitu menghadapi Tumenggung Yudonegoro. Yang pertama dia membawa hasil perjanjiannya dengan Adipati Anom dan yang kedua dia berhasil meyakinkan Tumenggung bahwa dia adalah pewaris yang sah kekuasaan Madura Barat karena merupakan cucu dari Cakraningrat I. Versi lain tentang penguasaan Trunojoyo atas Madura dapat dibaca pada buku “Bhabad Songennep” karya Raden Werdisastra.

Laskar Madura pimpinan Trunojoyo, kemudian juga bekerja sama Karaeng Galesong, pemimpin kelompok pelarian warga Makassar pendukung Sultan Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC. Kelompok tersebut berpusat di Demung, Panarukan. Mereka setuju untuk mendukung Trunojoyo memerangi Amangkurat I dan Mataram yang bekerja sama dengan VOC. Trunojoyo bahkan mengawinkan putrinya dengan putra Karaeng Galesong untuk mempererat hubungan mereka. Selain itu, Trunojoyo juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri dari Surabaya yang juga tidak menyukai Amangkurat I karena tindakannya terhadap para ulama penentangnya.

Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura, Makassar, dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom.
Pada bulan September 1676, Trunojoyo dan Madura mulai melakukan ekspansinya ke Mataram. Hingga bulan Oktober 1677, secara luar biasa pasukannya berhasil meringsek maju hingga ke ibukota Kesultanan Mataram di Plered. Secara ringkas penaklukan Trunojoyo disajikan dalam data berikut :

(1) Perang di Gegodog pada tanggal 16 Oktober 1676. Bangsawan Mataram yang gugur diantaranya : Panji Wirabumi, Kiai Ngabei Wirajaya, , Kiai Rangga Sidayu dan Pangeran Purbaya.

(2) Lasem ditaklukan tanggal 18 Oktober 1676.

(3) Rembang dihancurkan dan dibakar pada tanggal 24 Oktober 1676.

(4) Jepara diserang pada tanggal 20 November 1676. Namun karena kota ini dilindungi oleh VOC-Belanda, harus digarisbawahi bahwa Trunojoyo tidak ingin berperang dengan VOC, maka pasukan Madura pun keluar dari Jepara. Hal ini berlaku pula untuk kota Kudus.

(5) Demak jatuh pada tanggal 11 Desember 1676. Kurang lebih 11.000 pasukan Mataram meninggalkan Demak karena kekurangan pasokan bahan makanan.

(6) Tanggal 24 Desember 1676, Laskar Madura telah masuk dan membakar kota Semarang. Adipati Semarang Nayacitra melarikan diri, sementara itu, bawahannya Astrayuda, menyeberang ke pihak musuh.

(7) Menjelang tahun baru, sebuah kapal Cirebon memberi tahu bahwa Laskar Madura sudah merebut Pekalongan.

(8) Tegal baru jatuh pada tanggal 2 Januari 1677 tanpa kekerasan. Armada Madura yang terdiri dari 24 kapal ”konting” muncul di teluk. Pimpinannya adalah Ngabei Sindukarti, paman dari Trunojoyo.

(9) Cirebon yang dipimpin oleh Adipati Martadipa menyerah tanggal 5 Januari 1677.

Trunojoyo sendiri pada bulan April 1677 memberitahukan kepada utusan VOC-Belanda bahwa separuh wilayah Mataram telah ditaklukan dan bersiap untuk melakukan serangan pamungkas ke Ibukota Mataram di Plered.
Setelah menguasai Plered dan menjarah isinya, bahkan kemudian menikahi putri Amangkurat I (setelah menculiknya), Trunojoyo membangun basisnya di Kediri dan mengangkat dirinya sebagai penguasa Mataram yang baru.
Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan tetapi kesehatannya mengalami kemunduran. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di Tegal dan dimakamkan di suatu tempat yang bernama Tegal Arum. Sesudahnya, Susuhunan Amangkurat I kemudian juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal Arum. Adipati Anom dinobatkan menjadi Amangkurat II, dan Mataram secara resmi menandatangani persekutuan dengan VOC untuk melawan Trunojoyo. Persekutuan ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara (September 1677) yang isinya Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC membantu memenangkan terhadap pemberontakan Trunojoyo.

Trunojoyo yang setelah kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno, kemudian mendirikan pemerintahannya sendiri. Saat itu hampir seluruh wilayah pesisir Jawa sudah jatuh ke tangan Trunajaya, meskipun wilayah pedalaman masih banyak yang setia kepada Mataram. VOC sendiri pernah mencoba menawarkan perdamaian, dan meminta Trunojoyo agar datang secara pribadi ke benteng VOC di Danareja. Trunojoyo menolak tawaran tersebut.
Setelah usaha perdamaian tidak membawa hasil, VOC di bawah pimpinan Gubernur Jendral Cornelis Speelman akhirnya memusatkan kekuatannnya untuk menaklukkan perlawanan Trunojoyo. Di laut, VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka dari Bone untuk mendukung peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong; dan mengerahkan pasukan Maluku di bawah pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan serangan darat besar-besaran bersama pasukan Amangkurat II.

Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500 orang berhasil terus mendesak Trunojoyo. Setelah menguasai Surabaya, VOC mengirimkan ekspedisi ke Kediri yang dipimpin oleh Anthony Hurdt. Ekspedisi ini kurang lebih berjumlah 3000 orang yang terdiri dari orang Belanda, Ambon (dipimpin oleh Jonker), Bali, dan Bugis (dipimpin oleh Aru Palakka). Mereka dibantu oleh pasukan Mataram yang masih setia kepada Amangkurat II. Benteng pertahanan Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo dapat dikepung, dan menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker. Trunojoyo kemudian diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari 1680, Setelah bertemu, Amangkurat II mengatakan kepada Trunojoyo, ”Saya ampunkan kamu dan mengangkat kamu sebagai Adipati Madura”, sambil ia menusuk Trunojoyo dengan kerisnya. Trunojoyo pun akhirnya tewas di tangan Amangkurat II.

Dengan padamnya pemberontakan Trunojoyo, nasib ibukota Plered sendiri yang tidak lagi menguntungkan secara fisik maupun kosmologis akhirnya dipindahkan ke Kartasura pada tahun 1681. Di kediaman baru ini Amangkurat II dilindungi oleh musuh-musuhnya oleh balatentara VOC-Belanda. Mataram berhutang biaya peperangan yang sedemikian besarnya kepada VOC, sehingga akhirnya kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa diserahkan sebagai bayarannya kepada VOC. Cakraningrat II juga diangkat kembali oleh VOC sebagai penguasa di Madura, dan sejak saat itu VOC pun terlibat dalam penentuan suksesi dan kekuasaan di Madura.